Kamis, 03 Desember 2009

carilah ilmu, karena ilmu akan mengangkat derajatmu

"Anakku, engkau tidak berada di majlis suatu kaum melainkan engkau menjadi bahan ejekan dan tertawaan mereka. Oleh karena itu, carilah ilmu, karena ilmu akan mengangkat derajatmu" Demikian pesan seorang ibu yang bijak kepada anak kesayangannya yang menderita cacat fisik. Pesan sang ibu terbukti di kemudian hari. Sang anak yang tak lain Muhammad bin Abdurrahmân Al-Auqash menjadi pemimpin di Mekkah selama dua puluh tahun.

Sungguh, pesan sang ibu tadi sangatlah tepat dan tidak ada orang yang menyangsikan akan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk kehidupan dunia dan akhirat. Maka tak heran segala usaha dan jerih payah dicurahkan untuk mendapatkannya. Sebab kebodohan, hanya akan menjadikan manusia hina, tidak berguna, menapak dalam kegelapan, serta rendah dalam pandangan Allah dan manusia. Sebaliknya dengan ilmulah, derajat manusia terangkat, ia berguna bagi manusia di sekitarnya dan jalan hidup yang dilaluinya menjadi terang. Dengan ilmu pula yang haq bisa dibedakan dari yang batil, yang buruk bisa dihindari, yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dapat diraih serta hakikat hidup yang sesungguhnya menjadi jelas.

Islam dan Ilmu

Islam sebagai agama yang sempurna sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mendorong manusia untuk mencarinya, memuliakan orang yang berilmu dan mengangkat tinggi derajatnya. Kata-kata ilmu dan yang sepadan dengannya banyak kita jumpai di beberapa ayat dalam al-Quran. Bahkan sejak pertama kali al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw telah mendorong manusia untuk membaca sebagai kunci ilmu pengetahuan dan menyebutkan kata qalam (pena) sebagai alat untuk menyampaikannya. (Al-'Alaq 1-5)

Menurut Ibnu Katsîr dalam tafsirnya bahwa ayat ini adalah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat pertama yang Allah curahkankan kepada para hamba-Nya dan nikmat pertama yang Ia anugrahkan kepada mereka. Ayat ini mengingatkan tentang awal penciptaan manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Allah telah memuliakan manusia dengan mengajarkan kepada mereka apa yang mereka tidak ketahui sehingga dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, manusia menjadi mulia. Dan dengan ilmu pengetahuan pula bapak manusia, Adam as dimuliakan diatas para malaikat. (Ibnu Katsîr 4/481)

Sementara dalam ayat lain, Allah bersumpah dengan qalam (pena). Ia berfirman:
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, (QS. 68:1)
Menurut para ahli tafsir, jika Allah bersumpah dengan salah satu ciptaan-Nya, seperti bersumpah dengan matahari, bulan, waktu, pena dan lainnya, menunjukan pentingnya ciptaan Allah tersebut, sehingga Ia bersumpah dengannya dan mengajak manusia untuk memperhatikannya.

Mengapa Islam begitu besar memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan? Karena ilmu pengetahuan yang benar akan melahirkan rasa takut kepada Allah. Sebab orang yang berilmu dapat mengenal Allah dengan baik melalui perenungannya terhadap ayat-ayat-Nya. Dan dari pengenalan-Nya akan timbul rasa takut. Jika rasa takut telah menghujam di hati manusia maka ia telah memiliki modal kebaikan yang sangat berharga nilainya. Karena itulah, Allah mengatakan bahwa hanya orang-orang yang berilmu (ulama) yang takut kepadaNya.
"…Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…"(QS. 35:28)

Jika Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan memuliakan pemiliknya, sebaliknya, ia sangat mencela kebodohan, menghina orang-orang yang bodoh dan mewaspadai untuk tidak mengikuti prilaku mereka. Ilmu adalah cahaya yang menyinari jalan kehidupan. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan yang menutup semua sarana kebaikan.

Banyak dijumpai dalam al-Quran ayat-ayat yang mengandung celaan terhadap orang yang bodoh yang berfikir dan bertindak tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Seperti firman Allah berikut:
Dan mereka berkata:"Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)". Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (QS. 43:20)
Dalam ayat ini, orang-orang musyrikin dengan kebodohan mereka, mengklaim bahwa perbuatan mereka menyembah berhala bukan atas kehendak mereka sendiri, tetapi atas kehendak Allah. Seakan mereka tidak memiliki kebebasan memilih untuk melakukan sesuatu menurut apa yang mereka inginkan. Kemudian Allah membantah bahwa klaim mereka itu tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Apa yang mereka katakan hanya sebuah dugaan belaka.
Dengan nada hinaan yang lebih tegas lagi, Allah menganggap orang yang bodoh adalah buta. Firman-Nya:
Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (QS. 13:19)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hanya orang yang mengetahui akan kebenaran al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai orang yang berilmu pengetahuan yang bisa mengambil pelajaran darinya. Selain itu Allah menganggap meraka sebagai orang-orang yang buta. Menurut Ibnu Qayyim manusia hanya ada dua tipe; orang yang berilmu dan orang yang buta. Dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan bahwa orang bodoh pada hakikatnya adalah orang yang tuli, bisu dan buta.

Belajar adalah ibadah

Tidak ada agama yang memberikan perhatian yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukan oleh Islam. Dalam pandangan Islam mencari ilmu pengetahuan adalah ibadah dan kewajiban agama, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan dunia. Atau, baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam semesta. Karena wahyu adalah perintah Allah dan alam semesta adalah ciptaan-Nya dan tidak ada kontradiksi antara ciptaan dan perintah-Nya. Allah berfirman:
"…Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam." (QS. 7:54)
Jadi, dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan yang dianjurkan untuk dipelajari meliputi segala pengetahuan yang mampu menyingkap hakikat segala sesuatu dan menghilangkan kabut kebodohan serta keraguan dari akal manusia. Objeknya bisa berupa alam semesta, yang terlihat atau yang gaib. Demikian pula metode pengetahuannya bisa berupa indra dan empiris, maupun akal, bahkan wahyu dan kenabian. Karena itu tidak benar apa yang dikatakan oleh orang barat bahwa ilmu pengetahuan terbatas hanya yang didasarkan pada pengamatan dan eksperimen saja. Kata "ilmu" dalam al-Quran, juga tidak ditujukan kepada ilmu pengetahuan agama saja. Seperti firman Allah dalam surat Al-An'âm:
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 6:97)
Allah telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya melalui bintang-bintang yang bertebaran di langit. Lalu Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang mengetahuinya (berilmu). Kata ilmu dalam ayat ini menunjukan kepada ilmu alam.

Kaum muslimin generasi awal telah memahami dan melaksanakan seruan mencari ilmu dengan baik. Mereka mencurahkan segala upaya untuk meraih ilmu pengetahuan, didorong oleh semangat beragama dan beribadah kepada Allah. Maka lahirlah para ulama dari berbagai bidang disiplin ilmu yang telah memberikan kontribusi berguna bagi umat manusia. Mereka tidak pernah membedakan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan dunia.

Adapun yang berbeda menurut mereka adalah sumber ilmu, tempat mengambil dan menyerap pengetahuan darinya. Untuk mengetahui segala persoalan agama mereka merujuk kepada wahyu. Tidak sedikitpun mereka keluar darinya. Sedangkan untuk menggali pengetahuan dunia mereka menjadikan alam semesta ini sebagai sumber dan akal sebagai alat untuk melakukan penalaran terhadap berbagai fenomena alam yang ada.

Mereka sangat memahami benar, mana ilmu pengetahuan yang digali dari hasil penelitian, eskperimen dan empiris serta ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan syara'. Mereka mengambil setiap ilmu dari masing-masing sumbernya.

Kisah penyerbukan pohon kurma yang pernah dilarang oleh Rasulullah bisa dijadikan sebuah pelajaran dalam mengambil sumber ilmu. Dalam kisah ini, Nabi pernah melarang seseorang mengawinkan pohon kurmanya. Ternyata hasil pertaniannya kurang bagus, karena si petani tadi mengurungkan mengawinkan pohon kurma atas perintah Rasulullah. Ia menuruti perintah Rasulullah karena menurutnya perintah beliau bersumber dari wahyu. Tatkala Nabi mengetahui kegagalan hasil pertaniannya, beliau berkata:
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian". (Muslim: 2363)
Dengan perkataan ini, Nabi hendak menyampaikan bahwa apa yang pernah ia larang sebelumnya bukanlah bersumber dari wahyu yang disampaikan Allah kepadanya. Tetapi larangan itu hanya hasil pengamatan yang beliau ketahui. Karena itulah Nabi menyerahkan semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan eskperimen dan pengamatan kepada umatnya yang lebih mengetahui akan hal itu. Sedangkan ilmu pengetahuan agama harus dikembalikan kepadanya.

Jadi, ilmu dunia dikembalikan kepada eksperimen dan penelitian, seperti bagaimana meningkat hasil pertanian kurma atau yang lainnya. Dan persoalan agama harus dikembalikan kepada wahyu, walaupun kadang akal kita tidak mampu memahaminya. Alî bin Abî Thâlib pernah berkata: "Seandainya agama ini berdasarkan akal semata, seharusnya yang lebih utama untuk dibasuh pada khuf (sejenis sepatu) adalah bagian bawah dari pada bagian atasnya" (Abû Dâud: 162). Secara logika memang bagian bawah yang dibasuh, karena bawahlah yang tersentuh tanah. Tetapi Rasulullah mengajarkan bagian atasnya. Membasuh khuf adalah masalah agama yang harus bersandar kepada wahyu.
Pada wilayah eskperimen dan penelitian terhadap alam semesta, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan akalnya, seperti kata Nabi bahwa dalam urusan dunia, kalian lebih tahu. Namun pada wilayah wahyu kewajiban kita hanya mengikutinya. Akal bukan untuk menimbang dan menilai apakah agama yang disampaikan wahyu ini sesuai atau tidak. Tugasnya hanya memahami bukan menilai.

Ilmu yang pertama harus dipelajari

"Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya", kata Ar-Ragîb Al-Ashfihânî dalam mendefinisikan ilmu. Banyak hakikat kehidupan yang membutuhkan penyingkapan manusia agar bisa menuai kebahagian hidup dan melepaskan kebodohan dari dirinya. Dan kini manusia telah banyak menyingkap misteri alam semesta hingga mampu memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam melakukan aktifitas hidupnya. Tetapi terdapat hakikat yang paling besar dan agung yang pertama harus disingkap oleh manusia sebelum yang lainnya agar tidak tersesat dalam kejahilan yang hakiki dan menghantarkannya kepada kesengsaraan selamanya di akhirat kelak. Yaitu hakikat tentang diri manusia sendiri dan hakikat alam semesta. Dari mana manusia diciptakan, siapa yang menciptakan dan untuk apa ia diciptakan?. Terjawabnya pertanyaan-pertanyaan ini dengan benar sangat menentukan kebahagian hidup manusia di dunia dan akhirat. Sebaliknya tidak tersingkapnya hakikat besar ini menjadikan manusia hidup seperti hewan bahkan lebih buruk.

Dari sinilah kebutuhan terhadap ilmu tauhid sangat penting. Yaitu ilmu mengenal Allah, mengenal Rasul-Nya dan mengenal agama-Nya. Ilmu inilah yang pertama harus dipelajari. Dan hukum mempelajarinya menjadi kewajiban bagi setiap individu (wajib 'aini). Setiap muslim wajib mengetahui makna dua kalimat syahadat, rukun-rukunnya, konsekwensi apa yang harus dilaksanankan dari pengikraran bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya dan mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan syahadah ini. Seluruh seruan kepada ilmu dalam al-Quran lebih banyak ditujukan kepada pengenalan Allah. Diantaranya:
"…Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. 2:231)
"…Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. 2:233)
Hal lain yang wajib diketahui oleh seorang muslim adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah sehari-hari seperti berwudu dan shalat dan hukum tentang halal-haram. Jika telah tiba bulan puasa, ia wajib mengetahui hukum-hukum puasa. Begitu pula haji dan zakat. Bagi seorang muslim yang telah berkeluarga wajib mengetahui hak dan kewajiban suami-istri serta hak dan kewajiban anak. Demikian pula seorang pedagang wajib mengetahui hukum tentang jual-beli. Dan seorang pemimpin dituntut mengetahui hak dan kewajibanya terhadap rakyatnya.

Secara umum mempelajari ilmu pengetahuan agama dibagi kedalam dua bagian; ada pengetahuan agama yang wajib diketahui oleh setiap individu atau yang dikenal dengan istilah fardhu 'aini. Dan ada pengetahuan agama yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Artinya tidak setiap orang dituntut mengetahuinya. Tetapi umat Islam secara jamaah (kolektif) wajib mengetahuinya. Jika tidak ada yang mempelajarinya, semua berdosa dan jika ada sebagian yang telah mempelajarinya, yang tidak mempelajari tidak terkena dosa. Seperti memperdalam pengetahuan agama secara rinci untuk menjawab problematika umat. Sedangkan ilmu pengetahuan dunia dan umum, hukum mengetahuinya adalah fardhu kifâyah. Artinya harus ada sebagian umat Islam yang menjadi dokter misalnya. Bukan setiap orang harus mengetahui ilmu kedokteran.

Dengan demikian nampak jelas bagi kita, bahwa ilmu agama memiliki nilai lebih dari ilmu pengetahuan dunia. Sebab, bodoh dari ilmu dunia hanya membuat manusia sengsara di dunia. Tetapi bodoh dari pengetahuan agama membuat manusia sengsara di dunia dan akhirat. Seluruh Nabi dan Rasul pun diutus Allah ke dunia dengan membawa ilmu pengetahuan agama, yaitu untuk menjelaskan kepada manusia, apa yang harus ia lakukan di dunia ini. Ilmu pengetahuan ini tidak dapat disingkap oleh akal manusia tanpa diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab Allah.

Manusia yang mampu menyingkap banyak hakikat alam semesta dengan ilmu pengetahuan dunia yang ia miliki, namun jahil dari ilmu pengetahuan agama yang diwariskan oleh para Nabi dan lupa terhadap akhirat, sesungguhnya bukan orang yang berilmu di sisi Allah. Tetapi termasuk orang yang bodoh. Allah berfirman:
"…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. 30:7)
Allah menyipati mereka hanya mengetahuai mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Dalam pandangan Allah, ilmu mereka tidaklah berarti.
Akhirnya, relakah kita menjadi orang yang berilmu, tetapi sesungguhnya bodoh dalam pandangan Allah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda