Senin, 21 Desember 2009

SAHABAT...........Sahabat pertama saya adalah ibu saya.

Saya kira sahabat itu bukan kata benda. Bukan juga kata kerja. Sahabat adalah kata sifat. Saya merumuskan hal itu bagi diri saya sendiri, setelah apa yang saya jalani dan yakini sejauh ini. Bersahabat itu adalah sesuatu yang menyifat pada kita, dan kita bisa melatihnya untuk kebaikan. Saya bersahabat dengan banyak orang, dan dengan banyak hal. Sahabat pertama saya adalah ibu saya. Kami teman bicara yang baik. Kami punya banyak waktu bersama. Kami bisa membicarakan apa saja.


Sewaktu masih kanak-kanak, ibu saya berjualan kue dan es. Ini harus dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga kami yang masih kurang. Pohon kelapa kami waktu itu belum berbuah. Ibu membikin tiga atau empat jenis kue setiap hari. Sebagian harus dimasak sejak subuh, agar bisa dijual hangat pada pagi hari. Saat-saat memasak kue itulah kami bicara sebagai dua orang sahabat. Saya selalu ikut bangun subuh menemaninya di dapur dan membantu apa saja yang bisa saya kerjakan.


Kami bicara apa saja: tentang teman-teman saya, guru-guru saya, masa lalunya, pelajaran saya, hafalan-hafalan doa saya, cita-cita saya. Apa saja. Saya kira, lewat persahabatan dengan ibu saya sendiri, Tuhan mengajari saya untuk menjadi orang yang mudah menyampaikan pikiran kepada siapa saja. Tuhan menjadikan saya orang yang terbuka, mudah menjalin pertemanan, tak sulit beradaptasi dengan lingkungan baru.

Saya bersahabat dengan ayah saya. Dia seorang guru SMP. Waktu kosongnya di hari libur atau di sore hari kerja, ia isi dengan menjahit. Saya suka membantunya memotong kain dan mengantarkan jahitan ke pelanggan2. Ayahku membuat sendiri semua baju yang kupakai. Saya suka menjadi asistennya mengambil kain,memotong kain dan ini itu yang dia perlukan. Dia suka bercerita tentang sejarah perjuangan bangsa, mata pelajaran yang ia ajarkan di sekolah. Ia juga suka berkisah tentang bagaimana dulu dia sekolah di kota.


Saya kini merasa beruntung mendapatkan kisah itu dari Ayah saya. Kisahnya menanamkan semacam nasionalisme dalam diri saya, dan saya menyerap semangat untuk belajar dan keinginan untuk maju darinya.

Saya juga bersahabat dengan kakek saya. Kakek dari ayah saya adalah seorang veteran. Ia suka bercerita tentang bagaimana dulu dia menyeludupkan senjata dari tentara Australia yang ia barter dengan pisang dan pepaya. Senjata itu diserahkan kepada tentara republik. Darinya saya belajar keberanian.


Kakek dan Nenek dari ibu saya petani yang berhasil. Di kampung kami dia terpandang karena termasuk petani yang punya kebun terluas. Dia suka memberi uang tapi saya harus bekerja padanya. Saya harus memijit punggungnya, atau menginjak-injak punggungnya. Pelajaran penting dari kedua kakek/nenek saya adalah bekerjalah kalau kau ingin mendapatkan sesuatu.

Saya bersahabat dengan sepeda mini saya, yang waktu itu rasanya dengannya saya ingin menaklukkan dunia–meskipun waktu itu, perjalanan paling jauh yang pernah saya tempuh dengan sepeda mini itu hanya 15 kilometer dari rumah.

Saya bersahabat dengan sepasang mainan kodok dan ikan yang saya bayangkan hidup dan bercakap-cakap dengan saya. Dengan mereka saya belajar berimajinasi.

Saya bersahabat dengan seorang kawan SD saya. Di SMP dan SMA saya selalu punya seorang sahabat yang bagi saya mudah sekali mengukur kedekatan persabahatan itu. Apabila di rumah saya dan di rumah sahabat itu kami merasa seperti di rumah sendiri–makan, tidur, mandi, belajar – maka sudah demikian karibnya persahabatan itu terjalin.


Saya bersahabat dengan guru.
Saya bersahabat dengan beberapa buku yang menentukan hidup saya kemudian.
Ah, rasanya ini hanya pantas saya ceritakan nanti dalam bagian tersendiri.

Saya percaya, sejauh pengalaman saya, persahabatan yang tulus dan ikhlas mendatangkan banyak manfaat, berlipat-lipat. Hidup saya terbantu dan terbentuk oleh jalinan persahabatan saya. Saya percaya, Tuhan hadir, datang pada kita, atau dia mengirimkan pertolongan-Nya lewat sahabat-sahabat kita.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda